Artikel
Kualitas Ibadah Seorang Muslim Di Bulan Ramadhan
Bulan ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan
keberkahan dan kebahagian. Di bulan yang penuh berkah ini banyak sekali
kesempatan-kesempatan yang dapat dijadikan ladang untuk mendapatkan pahala berlipat-lipat.
Bulan dimana umat muslim diberi
kesempatan untuk menikmati indahnya ramadhan dan berlomba-lomba dalam
berbuat kebaikan. Karena dibulan inilah Allah S.W.T sangat jelas memberikan
sebuah pencapaian yang lebih, dalam hal amal kebaikan yang kita perbuat. Namun,
terkadang kita lupa akan pentingnya hal semacam ini. Hal ini, boleh jadi karena
kita yang terlalu terbawa oleh euphoria akan datangnya bulan suci ramadhan ini,
yang mana dengan sekedar hanya euphoria saja kita belum bisa untuk sampai pada
titik dimana esensi dari bulan ramadhan.
Ketentuan-ketentuan Allah S.W.T mengenai puasa ramadhan
yang demikian sempurna mengisyaratkan kemulian dan pentingnya puasa bagi orang
yang beriman, yaitu agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Dengan demikian
puasa ramadhan memiliki makna ketaatan mahluk pada penciptanya karena dengan
berbagai persyaratan yang ditentukan denga iklas kita tetap melaksanakannya dan
sekaligus menjadi media untuk meningkatkan kualitas diri, yaitu dengan shaum dari perbuatan yang tidak baik,
tetapi memperbanyak perbuatan baik. Melalui puasa semoga kita dapat menjadi
manusia yang taat dan berkualitas dalam beribadah kepada allah S.W.T.
Di bulan ramadhan yang
penuh berkah ini, seorang muslim hendaknya mampu mendeteksi sejauh mana kulitas
ubudiyahnya dalam menjalankan ibadah puasa. Seseorang bertanya kepada Imam
Ghazali Ra mengenai apakah ubudiyah (pengahambaan) itu? Kemudian beliau
menjawab ”Ia adalah kumpulan dari tiga hal, yang pertama, yaitu menunaikan
perintah syariat. Kedua, rela dengan ketentuan dan takdir serta pembagian rizki
dari Allah S.W.T. Dan yang ketiga, yaitu meninggalkan kehendak nafsunya untuk
mencari keridhoan Allah S.W.T.”
Sehingga, sangat penting
bagi umat muslim untuk mengetahui pentingnya kualitas ibadah dan ubudiyah kita.
Apakah ia berada pada tingkatan atas, tingkatan menengah, ataukah justru pada
tingkatan paling rendah? Minimal ada tiga tingkatan kualitas ubudyah dalam
menjalankan ibadah puasa:
Pertama: Tingkatan
dimana seorang yang berpuasa mampu menahan segala lapar, dahaga dan penderitaan
yang dahsyat demi menuntaskan ibadah puasa yang sudah diniatkannya. Seorang
Muslim pada tingkatan ini akan mampu berpuasa dalam kondisi yang sangat panas
dan melelahkan sekalipun seperti yang diriwayatkan dalam hadits.
Abu Darda RA menuturkan,
“kami Keluar bersama Rasululah SAW di Bulan Ramadhan dalam suasana yang sangat
panas. Hingga ada seorang di antara kami meletakkan tangan di atas kepalanya
karena cuaca yang panas sekali. Diantara kami tidak ada yang berpuasa kecuali
Rasulullah SAW dan Abdullah bin Rawahah (HR. Muslim)
Kedua: Tingkatan dimana
seorang yang berpuasa membatalkan puasanya karena adanya uzur syar’i,
seperti sakit atau musafir (bepergian) karena
tidak mampu berpuasa. Meskipun ia boleh membatalkan puasa karena uzur syar’i ,
namun dalam hati kecilnya ada perasaan sedih dan gelisah karena ia tidak dapat
melaksanakan puasa sebagaimana mestinya. Inilah tingkatan yang dimaksud dalam
hadis di atas,
Berpergian adalah
sepenggal siksaan. Karena selama bepergian seorang lelaki akan disibukkan dari
puasa, sholat dan ibadah-ibadahnya. Apabila salah seorang diantara kamu telah
menyelesaikan tujuan dari bepergiannya maka hendaknya ia bersegera kembali
kepada keluarganya (HR Ahmad)
Ketiga: Tingkatan dimana
seorang yang berpuasa begitu mudahnya membatalkan puasa yang sudah diniatkan
hanya karena godaan minum dan makanan yang ada di depan matanaya. Inilah yang
dinamakan syahwat tersembunyi yang dikhawatirkan rasulullah SAW.
Syaddad bin Aus RA
berkata, Aku mendengar rasulullah SAW bersabda “Aku mengkhawatirkan atas umatku
syirik dan syahwat tersembunyi.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, apakah
umatmu akan melakukan kesyirikan sepeninggalmu?’ Nabi SAW menjawab “ya, mereka
memang tidak menyembah matahari, bulan batu dan berhala. Namun mereka akan
memamerkan kebaikan mereka. Sedang syahwat tersembunyi adalah apabila seorang
di antara mereka di pagi hari sudah meniatkan puasa, lalu muncul suatu
keinginan pada dirinya sehingga ia pun meninggalkan puasanya.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Al-Hakim)
Hal ini berbeda dengan
kondisi orang seorang yang sebenarnya tidak ingin berpuasa, namun karena tidak
memiliki sesuatu untuk di makan akhirnya ia berpuasa, sehingga ketika
mendapatkan makanan ia membatalkan puasa. Atau membatalkan
puasa sunnah demi menghormati orang yang mengundang atau memberikan jamuan
kepadannnya.
Aisyah r.a. menuturkan,
Pada suatu hari Nabi SAW mendatangiku seraya bertanya, “Apakah ada suatu
makanan?” kami menjawab tidak ada. Nabi pun bersabda, “ Kalau begitu aku
berpuasa.” Setelah itu beliau datang lagi, lalu kami berkata, “wahai
Rasulullah, kami telah diberi hadiah bubur hais dan kami simpan sebagian
untukmu.” Nabi pun Bersabda, “Berikanlah kepadaku, meski sebenarnya aku telah
meniatkan puasa.” Lantas beliaupun memakannya. (HR Ahmad)
Jika
ibadah puasa ramadhan telah kita tunaikan dengan baik, maka kita patut optimis
bahwa amaliyah akan selalu mengantarkan kita menjadi manusia taqwa. Sementara,
kita tahu, taqwa adalah sebaik-baik bekal dalam menjalani hidup yang penuh
rintangan dan ujian ini.
”Berbekalah, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-ku wahai orang-orang yang berakal”
(QS Al-Baqarah [2]: 19).
Penulis :
Ade Thia Indiyani BK 2017 (Anggota Departemen Kemuslimahan)
No comments:
Post a Comment