Artikel
Ukhuwah Bibir
Saya menggigit bibir,
saat mengetahui kisah dari seorang saudari. Bagaimana bisa? Mengetahui
kisahnya, ukhuwah seakan menjadi topik basi. Apa pasal? Mari kita mulai, sebut
saja namanya Mawar. Seorang mahasiswi yang juga aktivis da’wah kampus, harus
menelan pil pahit ukhuwah basi dalam sebuah bus pada suatu perjalanan pulang.
Ah, rasanya Saya terlalu kasar, atau terlalu gemas? Mungkin kita bisa
menggunakan istilah yang lebih halus milik Ust. Rahmat Abdullah,”Kelesuan
Ukhuwah”. Kembali kepada Mawar, lepas berbulan-bulan menghabiskan masa di tanah
rantau, letih ditindih tumpukkan jurnal, buku tebal, hingga proposal, hari itu
hatinya bersemi. Tak lama lagi, beberapa jam lagi, insyaa Allah akan hilang
segala kepenatan, berganti kesejukkan tak terperi karena memandang senyum Ibu
dan raut Bapak yang terlihat amat kangen tapi selalu kaku dalam mengungkapkan
rindu. Ya, mudik! Sesuatu yang senantiasa dirindu oleh orang-orang yang dibawa
takdir untuk meninggalkan tanah kelahirannya.
Tentu hari itu terasa amat spesial
bagi Mawar. Dengan gesit dan semangat ia melangkahkan kaki menaiki bus, memilih
kursi dekat jendela, konon, posisi itu memudahkan seseorang untuk berkelana
dalam pikirannya, menikmati perjalanan. Ia lihat sekeliling, terasa tenang hatinya
ketika menjumpai seorang ikhwan sesama aktivis da’wah kampus di dalam bus yang
ia tumpangi. Ada orang yang kukenal di sini, ada saudaraku di sini, pikirnya.
Sambil
sesekali membuka mushaf untuk tilawah, Mawar membayangkan aroma lezat masakan
rumah, menikmati waktu libur bersama
keluarga, secangkir teh dan buku, tanpa diganggu gadget dan tumpukkan
tugas-tugas itu. Semuanya indah nian dalam bayangan, sebelum tiba-tiba, seorang
kondektur bus merusak lamunannya, menagih ongkos. Buru-buru Mawar merogoh tasnya,
ingin segera menyerahkan ongkos agar kondektur itu cepat pergi hingga ia bisa
kembali menikmati perjalanan, tilawah dan lamunan. Namun, Ya Allah! Di mana
dompetnya? Dikeluarkanlah satu persatu barang-barang dari dalam tasnya, namun tak
ada dompet di sana. Bagaimana? Uang untuk ongkos dan bekal selama liburan di
situ semua. Akhirnya, sembari gugup, Mawar mengaku pada kondektur bus, “Maaf,
Pak, dompet saya hilang..”
Kondektur
bus mana mau peduli. Mungkin pikirnya, situ yang ceroboh masak kita yang rugi. Ia ngotot ingin tetap dibayar. Tuntutan makin
sengit saat kondektur tersebut mengancam kalau tetap tidak bisa membayar, maka
Mawar akan diturunkan dari bus. Semua penumpang bus menujukan pandangan pada
Mawar. Susah payah Mawar menahan air matanya supaya tidak jatuh, wajahnya merah
malu bercampur sedih. Mawar melirik ragu-ragu pada ikhwan yang sering
dijumpainya dalam setiap agenda dakwah kampus, ia duduk tepat di seberang kursi
Mawar. Mawar berharap agar ikhwan itu mengulurkan bantuan, menjelmakan ukhuwah yang sering ia
gaungkan dalam ceramah-ceramahnya di masjid kampus. Tapi? Yaa Allah, ia diam
membatu, melirik ke arah Mawar pun tidak. Apakah ia tidak mendengar keributan
yang terjadi? Bagaimana bisa, sementara penumpang lain yang jarak kursinya
lebih jauh saja berlomba menghujamkan
tatap pada Mawar. Apakah ikhwan itu uangnya pas-pasan? rasanya tidak juga, sebab Mawar telah
melihatnya, ikhwan tersebut mengeluarkan dompet berisi beberapa lembar uang
seratus ribuan saat ditagih ongkos oleh kondektur bus. Atau jangan-jangan, ia
tidak kenal pada Mawar? Ah, tidak mungkin, sebab dalam banyak agenda dakwah
kampus, keduanya sering sekali perpapasan, meski tak saling sapa. Dalam hati, ingin sekali ia mengatakan pada sang
ikhwan. "ukhuwahmu hanya sampai bibir dan mimbar-mimbar masjid!" Tapi
ia segera beristighfar, mencari celah untuk mengundang prasangka baik, mungkin
ikhwan itu tidak benar-benar sengaja untuk tidak menolongnya, meskipun nalarnya
menolak sengit.
Mawar
makin terpojok, matanya sudah panas, bibirnya gelagapan, kondektur semakin
ganas meminta Mawar turun dari Bus. Saat
itulah, ketika Mawar merasa semua jalan buntu, ketika Mawar membayangkan
dirinya luntang-lantung di jalanan tanpa sepeser uang pun, seorang nenek sepuh
menegur kondektur, "Sudah, Pak. Ini ongkosnya saya yang bayar, sudah ya,
jangan dimarah-marahin lagi si Mbaknya." Nenek sepuh itu menyerahkan uang
kertas pecahan kecil yang telah lecek. Sampai di sini, Mawar tidak bisa menahan
air matanya, sambil menangis, ia mencium tangan nenek itu sambil tak henti-henti
mengucap terima kasih.
Mudah dan indah sekali rasanya saat kita membahas
ukhuwah Islamiyah, lebih kental dari darah, lebih kuat daripada sudara seayah,
yang tak hanya tercatat dalam lembar catatan kartu keluarga, namun
dipersaudarakan oleh-Nya, Ia janjikan mimbar dan menara-menara cahaya, yang
dicemburui oleh para nabi dan syuhada. Nabi memerintahkan agar ummatnya
mencintai saudara (seiman)nya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kalau
tak sanggup, maka belum purnalah imannya.
Saat mendengar ukhuwah, apa, siapa, kapan, di mana,
bagaimana yang akan kita bayangkan?
Apakah kita akan membayangkan Abu Bakar yg merelakan tubuhnya disengat hewan
berbisa demi agar Nabi bisa tetap tidur dengan nyenyak dalam pangkuannya? Atau
saat Sa'ad bin Rabi yang rela membagi dua harta, kebun, ternak, hingga istri,
untuk saudara muhajirinnya; Abdurrahman bin Auf? Atau Thalhah yg rela tubuhnya
berlumur darah, dipenuhi luka parah, demi
memerisai Rasulullah di medan Uhud? Kesemuanya membuat kita gemetar,
hingga dengan bangga dan dan berapi-api kita mungkin menceritakannya di atas
mimbar, dalam berbagai forum, apalagi bagi aktivis dakwah kampus, materi
ukhuwah Islamiyah seperti suplemen yg wajib dicekokkan kpd para kader. Tapi
menyedihkan jadinya jika ceritanya seperti Mawar dan Ikhwan dalam kisah di
atas. Padahal Mawar tidak meminta sebagian hartanya, jiwanya, sebagaimana Sa'ad
atau Thalhah, ia hanya berharap sedikit uang untuk ongkos pulang. Dan tentu
yang membuat Mawar lebih sedih, sebab ia kadung percaya, bahwa ikhwan yang
sesama aktivis da'wah kampus itu, yang sering berceramah soal ukhuwah itu,
pasti akan membantunya. Bukankah ia ikhwan yg luas pengetahuan agamanya, banyak
hafalan Qur'annya? Telah sampaikah hafalannya pada ayat "kabura maqtan
'indaLlaahi anta'quuluu maa laa taf'aluun."? Huh, untunglah yang
berada di posisi itu Mawar, yang masih bisa menjunjung adab, kalau Saya di
posisinya mungkin Saya akan kelepasan bicara, "Akhi, pinjem duit dong!
Diem-diem bae.."
Selain Mawar, ada kisah lain dari seorang ikhwan yang
memilih keluar dari bahtera da'wah. Padahal, ia pernah menjadi ketua Rohis
sewaktu SMA, tarbiyahnya semakin matang ketika ia kembali mengikuti Lembaga
Dakwah Kampus di bangku kuliah. Itu sebab, yg membuat Saya sedemikian heran
saat ia memutuskan untuk sama sekali keluar dari lembaga da'wah.
"Kenapa?" Tanya Saya. Ternyata jawabannya sederhana. "Yang
sering diomongin, ukhuwah, ukhuwah, tapi buktinya gak ada.." Saya tidak
berani bertanya lebih jauh, hanya membatin, ternyata besar nian pengaruh dan
dampak ukhuwah ini bagi keberlangsungan da'wah. Dalam salah satu edisi Tatsqif,
bahkan ukhuwah islamiyah menjadi salah satu dari 7 kesolidan yang harus
diperjuangkan dalam sebuah entitas da'wah: spiritualitas, ibadah, moral, pemikiran,
manhaj-pedoman, ukhuwah islamiyah dan keistiqamahan-kekonsistensian. Dan
benarlah, gagalnya sebuah entitas da'wah bukan karena tidak tercapainya
program-program, melainkan karena gagalnya menyatukan barisan.
Bagaimana dengan Saya? Alhamdulillah.. Allah
karuniakan ukhuwah yang bukan hanya di bibir. Bahkan tulisan ini dibuat setelah
Saya mengenang kabaikan saudari2 yang tadi dengan ikhlas menyibukkan diri demi
membantu saya, saudarinya. Meski namanya tak tercatat dalam lembar dokumen
manusia, tapi insyaa Allah tertera dalam catatan kebaikan malaikat Raqib. Saya
banyak belajar. Belajar dari orang-orang ikhlas adalah belajar dari mata air
yang tak pernah kering. Tak banyak riak, tapi selalu jernih, dibutuhkan dan
konsisten mengalirkan kebermanfataan.
"Dan Dialah yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan seluruh (kekayaan) yang
ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah
telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia maha perkasa, Maha
bijaksana." (al-Anfaal: 63)
Allah telah mempersatukan, tinggal kita jaga agar
persatuan itu tak cerai, karena, ya, ukhuwah patutlah diperjuangkan, (kalau
kata Scientia Afifah), tak hanya pemanis bibir pada kajian-kajian.
-Dan tentu, tiap tulisan utamanya ditujukan pada sang empu- :)
-Dan tentu, tiap tulisan utamanya ditujukan pada sang empu- :)
Penulis :
Dini Hanifa PBSI 2018 (Anggota Departemen Kemuslimahan)
👍👍
ReplyDelete👍
ReplyDelete😍
ReplyDelete