Artikel

Malpraktik dalam Dunia Pendidikan


WhatsApp+Image+2019-02-06+at+17.28.07

Jika pasien berpenyakit A berobat ke rumah sakit, lantas ditangani oleh dokter spesialis penyakit B, apa kiranya yang dilakukan sang pasien ketika mengetahui perbuatan malpraktik yang mengancam nyawa manusia tersebut?” tanya dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila kami satu saat dalam sebuah diskusi di kelas.               
Kami tentu tahu persis arah pembicaraan beliau. Itu hanya pengibaratan, atas sederet problematika di dunia pendidikan yang banyak beliau temukan. Tuntut! Tentu saja dokter dan rumah sakit yang spesialisasinya tidak linier dengan penyakit pasien yang ditangani layak untuk dituntut. Membahayakan nyawa orang lain telah cukup menjadi alasan untuk mempidanakan atau minimal mengajukan protes dan tak lagi menaruh percaya pada dokter dan rumah sakit tersebut. Sayangnya, kita tidak sekritis dan setegas itu menyikapi malpraktik dalam dunia pendidikan. Ada berapa banyak guru di luar sana yang ‘salah menangani pasien’ dengan mengampu mata pelajaran yang tidak linier atau bahkan bertolakbelakang dengan spesialisasi ilmu yang dimiliki. Layaknya seorang pasien, peseta didik datang ke sekolah untuk mendapatkan racikan obat berupa ilmu yang bergizi nan sesuai dosis untuk perkembangannya. Namun apa yang terjadi jika sang guru belum pernah dilatih meracik penyajian ilmu dalam proses pembelajaran yang efektif untuk perkembangan anak didiknya?
Saat dosen Pancasila saya ini diundang sebagai pemateri dalam Pelatihan Pendidikan Profesi Guru, beliau mengeluhkan, dari ratusan peserta PPPG yang tak lain adalah guru-guru yang aktif mengajar di berbagai instansi pendidikan, hanya tiga orang saja yang mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sisanya? ‘Kembali melakukan malpraktik dalam dunia pendidikan.’
Akibatnya mudah ditebak, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, rata-rata nasional hanya 44,5 --Jauh di bawah standar 75. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonsia hanya meraih 0, 689 dan berada pada peringkat ke-113 dari 188 negara. Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 memperlihatkan, pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen penting dalam pendidikan yaitu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Kini, dari 3,9 juta guru di Indonesia, 25% di antaranya belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% belum memiliki sertifikat profesi. (detik.com)
 Padahal pekerjaan guru sungguh tak main-main. Kita tentu setuju jika ilmu dan pendidikan layaknya sebuah trampolin yang mampu melesat-tinggikan suatu peradaban. Kegemilangan Islam di masa Dinasti Abbasiyah tak terlepas dari para ilmuwan dan Bait A-Hikam sebagai perpustakaan terbesar tempat para manusia Timur-Barat menggali jernihnya mata air ilmu. Cendawan-cendawan ilmu serupa Newton, Da Vinci, Einstein, Glileo, dan Coppernicuslah yang turut mengantarkan Eropa pada masa Renaissance-nya. Itulah salah satu tugas pokok seorang guru, mendidik. Menyiapkan generasi yang cerlang cemerlang untuk membangun negara, membangun peradaban. Guru bukanlah profesi mati rasa yang bekerja dalam rutinitas mekanik. Ia bekerja atas dasar kesadaran dan tujuan mulia; mencerdaskan generasi. Dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan, guru sebagai agen pembelajaran  (learning agent) harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan  pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Untuk memiliki berbagai karakteristik guru ideal tersebut, tentunya haruslah melalui serangkaian proses pembelajaran yang menunjang terlahirnya guru-guru profesional. Karakteristik itu jugalah yang menyebabkan profesi guru telah-tetap-akan selalu dibutuhkan, tak peduli telah semaju apapun teknologi tempat segala informasi dan pengetahuan begitu lengkap lagi cepat didapat.
Untuk itu, masih dalam UU No. 14/2005, tepatnya pada Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan prinsip yang mendasari profesi guru dan dosen, di mana salah satunya adalah “memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas”.
Meskipun di lapangan masih banyak kita temui guru-guru yang mengajar dengan tidak berlandas pada salah satu prinsip dalam profesi guru seperti yang tercantum dalam UU nomor 14/2005 pasal 7 ayat (1), namun kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan guru atas persoalan ini. Ada berbagai faktor yang turut  menyebabkan terjadinya malpraktik di dunia pendidikan, di antaranya:
Pertama, kesejahteraan guru yang tidak merata. Dalam kunjungannya pada sebuah acara silaturahmi PGSI di istana negara (11/1), Presiden Joko Widodo kaget dan sempat tidak percaya, seorang guru swasta yang tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) mendapat gaji sekitar Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan. (CNNIndonesia.com).
Tapi memang begitu realita di lapangan, masih banyak guru yang mendapat upah kurang layak.  Apalagi guru honorer di pelosok-pelosok desa yang tak terjamah media, harus punya modal ikhlas yang besar untuk memilih profesi guru. Masih dilansir dari CNNIndonesia.com, Megayanti, salah seorang guru swasta asal kabupaten Pemalang mengatakan telah menjadi guru sejak 2009. Mega mengaku selama tujuh tahun hanya dibayar sebesar Rp50 ribu/bulan, dan dalam tiga tahun ini hanya bertambah menjadi Rp150 ribu/bulan. Sementara di tempat lain, di kota-kota besar dengan sekolah-sekolah swasta favoritnya misalnya, taraf ekonomi seorang guru bisa sangat baik. Karenanya, sarjana-sarjana lulusan keguruan berlomba melamar pekerjaan di sekolah-sekolah favorit, akses yang mudah juga membuat sebagian besar mereka memilih menjadi guru di kota. Sementara sekolah-sekolah di desa masih kekurangan guru. Akhirnya, diterimalah calon-calon pengajar meskipun mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan keguruan.
Maka dari itu, sudah saatnya pemerintah memperhatikan betul kesejahteraan guru secara merata, tentu saja salah satunya dengan memberikan upah yang layak bagi profesi mulia ini.
Kedua, profesi guru dianggap kurang prestis dan kerap dijadikan sebagai profesi cadangan. Seorang mahasiswa jurusan hukum mengidamkan menjadi pengacara terkenal, namun ketika cita-cita tersebut tak kunjung tercapai, ia membanting setir menjadi guru. Mahasiswa lain jurusan administrasi mengidamkan pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar, namun ketika mimpi itu tak jua tergapai, maka mengajar yang menjadi pilihan. Itu semua tak lain karena pofesi guru kerap dianggap kurang prestis. Sehingga seringkali dijadikan sebagai profesi cadangan. Maka akan jamak kita temukan sarjana lulusan hukum menjadi guru kesenian, lulusan pertanian menjadi guru olah raga, dan guru dari lulusan bidang keilmuan lain yang tidak kalah “tidak nyambungnya”.
Padahal di negara-negara dengan predikat pendidikan terbaik di dunia, Finlandia misalnya, menurut Center on International Education Benchmarking, mengajar adalah profesi yang paling dihormati. Di sana, mengajar di sekolah dasar adalah karir yang paling dicari. Kualitas guru di Finlandia semakin tinggi karena banyak yang melamar menjadi guru adalah lulusan terbaik dari universitasnya. (Torto.com)
Sudah saatnya profesi guru benar-benar dihargai seharga jasanya. Selain dengan pemenuhan hak kesejahteraan tentunya, juga bisa berupa penganugerahan penghargaan-penghargaan lain yang khusus diperuntukan untuk profesi guru.
Ketiga, proses penerimaan guru yang kurang selektif dan tidak prosedural. Masih banyak sekolah yang menerima guru dengan proses yang kurang selektif. Misalnya saja, ketika yang melamar menjadi guru adalah saudara kepala sekolah atau saudara guru yang telah lebih dulu mengajar, maka ia bisa dengan mudah diterima meskipun memiliki latar pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang tugas. Hal ini juga menunjukkan proses penerimaan guru yang belum prosedural, karena jika benar-benar mengikuti prosedur, tentu setiap guru selayaknya mengajar mata pelajaran yang linier dengan latar belakang pendidikannya.
Jika kita kembali bercermin pada Finlandia, maka di negara tersebut tak sembarang orang yang dipilih untuk menjadi guru. Guru-guru dilatih agar dapat memilih metode apa yang akan mereka gunakan di kelas . Guru-guru juga bebas dari persyaratan eksternal seperti adanya inspeksi dari pemerintah. Finlandia sudah meniadakan proses inspeksi sekolah sejak tahun 1990-an.
“Guru-guru harus memiliki pendidikan berkualitas sehingga mereka benar-benar tahu bagaimana menggunakan kebebasan yang diberikan kepadanya dan belajar memecahkan masalah dengan cara yang berbasis penelitian.” Kata Leena Krokfors, Profesor dari Helsinki University kepada The Guardan. (Tirto.com).
Begitulah beberapa faktor yang menyebabkan maraknya malpraktik dalam dunia pendidikan. Malpraktik seorang dokter spesialis THT yang menangani pasien berpenyakit kanker mungkin hanya akan membahayakan nyawa satu-dua pasiennya. Namun ilmu dan pemahaman yang salah akan dibawa seseorang sepanjang hidupnya, dapat menyebar bak wabah, bahkan turun dari satu generasi ke generasi lain. Perlu upaya dari semua pihak untuk menangani persoalan ini. Kesadaran bagi setiap calon guru, selektif bagi setiap instansi pendidikan, kritis bagi masyarakat, dan pemerintah selaku pihak yang paling berwenang dalam suatu negara diharapkan dapat memberi solusi terbaik dengan memperhatikan pemerataan kesejahteraan guru, memberikan penghargaan yang dapat menaikkan prestis profesi guru dan mempertegas plaksanaan prosedur yang berlaku dalam dunia pendidikan secara bijak dan berasas manfaat bagi semua pihak, agar malpraktik di dunia pendidikan bisa segera teratasi, agar tak ada lagi anak bangsa yang menjadi korban karena ditangani oleh sembarang pihak yang salah dalam memberi racikan ilmu.

Penulis :
Dini Hanifa PBSI 2018 (Anggota Departemen Kemuslimahan)
Baca juga Manusia Paling Merdeka 

No comments:

Post a Comment