Artikel
Malpraktik dalam Dunia Pendidikan
“Jika pasien berpenyakit A berobat ke
rumah sakit, lantas ditangani oleh dokter spesialis penyakit B, apa kiranya
yang dilakukan sang pasien ketika mengetahui perbuatan malpraktik yang
mengancam nyawa manusia tersebut?” tanya dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila
kami satu saat dalam sebuah diskusi di kelas.
Kami
tentu tahu persis arah pembicaraan beliau. Itu hanya pengibaratan, atas sederet
problematika di dunia pendidikan yang banyak beliau temukan. Tuntut! Tentu saja
dokter dan rumah sakit yang spesialisasinya tidak linier dengan penyakit pasien
yang ditangani layak untuk dituntut. Membahayakan nyawa orang lain telah cukup
menjadi alasan untuk mempidanakan atau minimal mengajukan protes dan tak lagi
menaruh percaya pada dokter dan rumah sakit tersebut. Sayangnya, kita tidak
sekritis dan setegas itu menyikapi malpraktik dalam dunia pendidikan. Ada
berapa banyak guru di luar sana yang ‘salah menangani pasien’ dengan mengampu
mata pelajaran yang tidak linier atau bahkan bertolakbelakang dengan
spesialisasi ilmu yang dimiliki. Layaknya seorang pasien, peseta didik datang
ke sekolah untuk mendapatkan racikan obat berupa ilmu yang bergizi nan sesuai
dosis untuk perkembangannya. Namun apa yang terjadi jika sang guru belum pernah
dilatih meracik penyajian ilmu dalam proses pembelajaran yang efektif untuk
perkembangan anak didiknya?
Saat
dosen Pancasila saya ini diundang sebagai pemateri dalam Pelatihan Pendidikan Profesi
Guru, beliau mengeluhkan, dari ratusan peserta PPPG yang tak lain adalah
guru-guru yang aktif mengajar di berbagai instansi pendidikan, hanya tiga orang
saja yang mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan latar belakang
pendidikannya. Sisanya? ‘Kembali melakukan malpraktik dalam dunia pendidikan.’
Akibatnya
mudah ditebak, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015, rata-rata nasional
hanya 44,5 --Jauh di bawah standar 75. Angka indeks pembangunan manusia (IPM)
dari United Nations Development Programme (UNDP) 2016, Indonsia hanya meraih 0,
689 dan berada pada peringkat ke-113 dari 188 negara. Data UNESCO dalam Global
Education Monitoring (GEM) Report 2016 memperlihatkan, pendidikan di Indonesia
hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan komponen
penting dalam pendidikan yaitu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara
berkembang di dunia. Kini, dari 3,9 juta guru di Indonesia, 25% di antaranya
belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% belum memiliki sertifikat
profesi. (detik.com)
Padahal pekerjaan guru sungguh tak main-main.
Kita tentu setuju jika ilmu dan pendidikan layaknya sebuah trampolin yang mampu
melesat-tinggikan suatu peradaban. Kegemilangan Islam di masa Dinasti Abbasiyah
tak terlepas dari para ilmuwan dan Bait A-Hikam sebagai perpustakaan terbesar
tempat para manusia Timur-Barat menggali jernihnya mata air ilmu. Cendawan-cendawan
ilmu serupa Newton, Da Vinci, Einstein, Glileo, dan Coppernicuslah yang turut
mengantarkan Eropa pada masa Renaissance-nya. Itulah salah satu tugas pokok
seorang guru, mendidik. Menyiapkan generasi yang cerlang cemerlang untuk
membangun negara, membangun peradaban. Guru bukanlah profesi mati rasa yang
bekerja dalam rutinitas mekanik. Ia bekerja atas dasar kesadaran dan tujuan
mulia; mencerdaskan generasi. Dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen,
menyebutkan, guru sebagai agen pembelajaran
(learning agent) harus menjadi fasilitator, motivator, pemacu,
perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi
belajar bagi peserta didik. Untuk memiliki berbagai karakteristik guru ideal
tersebut, tentunya haruslah melalui serangkaian proses pembelajaran yang menunjang
terlahirnya guru-guru profesional. Karakteristik itu jugalah yang menyebabkan
profesi guru telah-tetap-akan selalu dibutuhkan, tak peduli telah semaju apapun
teknologi tempat segala informasi dan pengetahuan begitu lengkap lagi cepat
didapat.
Untuk
itu, masih dalam UU No. 14/2005, tepatnya pada Pasal 7 Ayat (1) menyatakan
bahwa setidaknya ada sembilan prinsip yang mendasari profesi guru dan dosen, di
mana salah satunya adalah “memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas”.
Meskipun
di lapangan masih banyak kita temui guru-guru yang mengajar dengan tidak
berlandas pada salah satu prinsip dalam profesi guru seperti yang tercantum
dalam UU nomor 14/2005 pasal 7 ayat (1), namun kita juga tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan guru atas persoalan ini. Ada berbagai faktor yang turut menyebabkan terjadinya malpraktik di dunia
pendidikan, di antaranya:
Pertama, kesejahteraan
guru yang tidak merata. Dalam kunjungannya pada sebuah acara silaturahmi PGSI
di istana negara (11/1), Presiden Joko Widodo kaget dan sempat tidak percaya,
seorang guru swasta yang tergabung dalam Persatuan Guru Seluruh Indonesia
(PGSI) mendapat gaji sekitar Rp300 ribu sampai Rp500 ribu per bulan.
(CNNIndonesia.com).
Tapi
memang begitu realita di lapangan, masih banyak guru yang mendapat upah kurang
layak. Apalagi guru honorer di
pelosok-pelosok desa yang tak terjamah media, harus punya modal ikhlas yang
besar untuk memilih profesi guru. Masih dilansir dari CNNIndonesia.com,
Megayanti, salah seorang guru swasta asal kabupaten Pemalang mengatakan telah
menjadi guru sejak 2009. Mega mengaku selama tujuh tahun hanya dibayar sebesar
Rp50 ribu/bulan, dan dalam tiga tahun ini hanya bertambah menjadi Rp150 ribu/bulan.
Sementara di tempat lain, di kota-kota besar dengan sekolah-sekolah swasta favoritnya
misalnya, taraf ekonomi seorang guru bisa sangat baik. Karenanya,
sarjana-sarjana lulusan keguruan berlomba melamar pekerjaan di sekolah-sekolah
favorit, akses yang mudah juga membuat sebagian besar mereka memilih menjadi
guru di kota. Sementara sekolah-sekolah di desa masih kekurangan guru. Akhirnya,
diterimalah calon-calon pengajar meskipun mereka tidak mempunyai latar belakang
pendidikan keguruan.
Maka
dari itu, sudah saatnya pemerintah memperhatikan betul kesejahteraan guru
secara merata, tentu saja salah satunya dengan memberikan upah yang layak bagi
profesi mulia ini.
Kedua, profesi guru
dianggap kurang prestis dan kerap dijadikan sebagai profesi cadangan. Seorang
mahasiswa jurusan hukum mengidamkan menjadi pengacara terkenal, namun ketika
cita-cita tersebut tak kunjung tercapai, ia membanting setir menjadi guru.
Mahasiswa lain jurusan administrasi mengidamkan pekerjaan sebagai sekretaris di
sebuah perusahaan besar, namun ketika mimpi itu tak jua tergapai, maka mengajar
yang menjadi pilihan. Itu semua tak lain karena pofesi guru kerap dianggap
kurang prestis. Sehingga seringkali dijadikan sebagai profesi cadangan. Maka
akan jamak kita temukan sarjana lulusan hukum menjadi guru kesenian, lulusan
pertanian menjadi guru olah raga, dan guru dari lulusan bidang keilmuan lain
yang tidak kalah “tidak nyambungnya”.
Padahal
di negara-negara dengan predikat pendidikan terbaik di dunia, Finlandia
misalnya, menurut Center on International Education Benchmarking, mengajar
adalah profesi yang paling dihormati. Di sana, mengajar di sekolah dasar adalah
karir yang paling dicari. Kualitas guru di Finlandia semakin tinggi karena banyak
yang melamar menjadi guru adalah lulusan terbaik dari universitasnya.
(Torto.com)
Sudah
saatnya profesi guru benar-benar dihargai seharga jasanya. Selain dengan
pemenuhan hak kesejahteraan tentunya, juga bisa berupa penganugerahan
penghargaan-penghargaan lain yang khusus diperuntukan untuk profesi guru.
Ketiga, proses penerimaan
guru yang kurang selektif dan tidak prosedural. Masih banyak sekolah yang
menerima guru dengan proses yang kurang selektif. Misalnya saja, ketika yang
melamar menjadi guru adalah saudara kepala sekolah atau saudara guru yang telah
lebih dulu mengajar, maka ia bisa dengan mudah diterima meskipun memiliki latar
pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang tugas. Hal ini juga menunjukkan
proses penerimaan guru yang belum prosedural, karena jika benar-benar mengikuti
prosedur, tentu setiap guru selayaknya mengajar mata pelajaran yang linier
dengan latar belakang pendidikannya.
Jika
kita kembali bercermin pada Finlandia, maka di negara tersebut tak sembarang
orang yang dipilih untuk menjadi guru. Guru-guru dilatih agar dapat memilih
metode apa yang akan mereka gunakan di kelas . Guru-guru juga bebas dari
persyaratan eksternal seperti adanya inspeksi dari pemerintah. Finlandia sudah
meniadakan proses inspeksi sekolah sejak tahun 1990-an.
“Guru-guru
harus memiliki pendidikan berkualitas sehingga mereka benar-benar tahu
bagaimana menggunakan kebebasan yang diberikan kepadanya dan belajar memecahkan
masalah dengan cara yang berbasis penelitian.” Kata Leena Krokfors, Profesor
dari Helsinki University kepada The Guardan. (Tirto.com).
Begitulah beberapa
faktor yang menyebabkan maraknya malpraktik dalam dunia pendidikan. Malpraktik
seorang dokter spesialis THT yang menangani pasien berpenyakit kanker mungkin
hanya akan membahayakan nyawa satu-dua pasiennya. Namun ilmu dan pemahaman yang
salah akan dibawa seseorang sepanjang hidupnya, dapat menyebar bak wabah,
bahkan turun dari satu generasi ke generasi lain. Perlu upaya dari semua pihak
untuk menangani persoalan ini. Kesadaran bagi setiap calon guru, selektif bagi
setiap instansi pendidikan, kritis bagi masyarakat, dan pemerintah selaku pihak
yang paling berwenang dalam suatu negara diharapkan dapat memberi solusi
terbaik dengan memperhatikan pemerataan kesejahteraan guru, memberikan
penghargaan yang dapat menaikkan prestis profesi guru dan mempertegas
plaksanaan prosedur yang berlaku dalam dunia pendidikan secara bijak dan
berasas manfaat bagi semua pihak, agar malpraktik di dunia pendidikan bisa
segera teratasi, agar tak ada lagi anak bangsa yang menjadi korban karena
ditangani oleh sembarang pihak yang salah dalam memberi racikan ilmu.
Penulis :
Dini Hanifa PBSI 2018 (Anggota Departemen Kemuslimahan)
Baca juga Manusia Paling Merdeka
No comments:
Post a Comment