Artikel
Manusia Paling Merdeka
Tangguh
itu,
Berusaha
melangkahkan kaki
Walau
berat terseret
Karena
ia tahu
Tak
pernah ada kata menunggu bagi sang waktu
Tangguh
itu,
Menelan
ludah kuat-kuat,
Sesakit
apapun tenggorokan menjadi tumbal
Bagi
adrenalin yang memuncak
Tangguh
itu,
Melengkuhkan
senyum selebar dan seikhlasnya
Sepenat
apapun kepala dan benak
Tangguh
itu,
Membinarkan
mata secerahnya
Semenggenang
apapun danau di pelupuk
Tangguh
itu,
Seperti
Asma binti Abi Bakar
Bunda
Dzatunitaqain merayap Tsur demi dua lelaki akhirat
Menyakinkan
sang anak menyongsong kematian terindah..
Tangguh
itu,
Membiarkan
malaikat tersenyum jemawa
Karena
telah mencatat kemenangan jiwa
Tangguh
itu,
Bukan
arogan dan enggan mengakui kesalahan
Justru
mantap bertanggungjawab
Merecovery
kesalahan dengan prestasi kebaikan
Tangguh
itu,
Mematahari,
Ia
tak pernah kehabisan energi untuk terus memberi
Tangguh
itu,
Tentu
bukan sekadar kata
Karena
ia dibentuk dengan amal-amal badai dan nyata
Tangguh
itu,
Bukan
mempermak wajah dengan kepalsuan
Justru
mendorong hati untuk menghamba-Nya seaslinya
Karena
tangguh adalah hasil kausa sebuah do’a:
Izzah
dan iffah yang mendarah mensenyawa
Memprosesmu
menjadi manusia merdeka
Allah..
Terima
kasih telah memberiku kesempatan
Untuk
bertangguh, mencoba tangguh
Sampaikan
terima kasih pula pada mereka:
Tangguh
yang mewujud pada manusia.
(Tentang
Tangguh: Scientia Afifah)
Jika ditanya kapan pertama kali saya
mulai menaruh hati pada jalan ini, persisnya, saya tak ingat betul, apakah saat
seorang kakak dengan menggebu-gebu menceritakan kegiatannya di rohis, atau saat
seorang bibi mengompori agar saya ikut liqo, atau ketika saya mulai membaca
tumpukkan majalah Ummi, Annida, Tarbawi, Sabili yang dibawa bibi-bibi dan
paman-paman jika mereka sedang berkunjung ke rumah. Ah, saya tak peduli, yang
pasti kini, saya ingin memeluk anugerah ini kuat-kuat. Anugerah karena telah
berada di jalan ini, jalan yang tidak semua orang bisa lalui.
Salah satu karunia yang patut
disyukuri saat kaki ini menapak jalan yang Izzatul Islam bilang “penuh onak dan duri”, adalah
bertemunya saya dengan manusia-manusia paling merdeka. Apa menurutmu definisi
merdeka?
Mungkin, merdeka itu seperti seorang
murabbi sewaktu saya masih duduk di Madrasah Aliyah. Dengan jarak rumah yang
cukup jauh, ditambah dua anak balita yang sedang aktif-aktifnya dan senang
mencari perhatian dari sang ibunda, tak membuat beliau terpenjara. Beliau tetap
merdeka mengabdikan dirinya untuk da’wah. Tiap pekan, beliau nyaris tak pernah
alpa mengalirkan jernihnya mata air ilmu yang menelaga, pada kami, mutarabbinya
yang kehausan. Meski beliau harus memasang tubuh tegap-tegap karena
anak-anaknya yang masih balita merengek sambil menggelayuti tubuh, meski harus
menutup telinga kuat-kuat karena anak balitanya yang menjerit-jerit minta
perhatian, meski harus menutup dompet rapat-rapat karena sang anak yang seakan
mengiqab ibundanya dengan banyak meminta uang jajan, tetap saja tak menyurutkan
langkah beliau untuk menjadi jembatan hidayah-Nya bagi kami.
Apa definisi merdeka menurutmu?
Mungkin merdeka itu seperti Ibunda Alm. Yoyoh Yusroh. Kesibukan dunia,
pekerjaannya sebagai pejabat negara tak membuat beliau terhalang dari keta’atan
pada Allah (insyaa Allah). Padatnya jam kerja tak menghalangi beliau untuk
tilawah Al-Qur’an minimal 2 juz sehari. Tiga belas buah hati tak membuat beliau
tak sempat menghafal Al-Qur’an, tahajud, dhuha dan amalan sunnah lainnya.
Jabatan dan pangkat dunia tak membuat nyali beliau ciut untuk bolak-balik
Indonesia-Palestina. Menjadi relawan, mengirim bantuan. Diceritakan, beliau tak
pernah panik setiap kehilangan sesuatu, bahkan benda penting semacam dompet.
Dengan enteng beliau mengatakan, “Ya sudah, kalau masih rezeki nanti juga
kembali.”. Salah satu kebijakan beliau yang masih kita nikmati hingga saat ini,
khususnya untuk saudari-saudari kita yang berprofesi sebagai polwan, adalah
legalisasi hijab bagi polisi wanita.
Apa definisi merdeka menurutmu?
Mungkin merdeka itu seperti Ibnu Taimiyah, saat penjara Damaskus di tahun 278
H, menjadi saksi kata-katanya yang abadi menyejarah.
“Apa
yang dikatakan musuh-musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku,
inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, itu adalah
tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.”
Tubuhnya
memang sempurna terpenjara, namun jiwanya bebas merdeka. Pena, kertas dan tinta
telah dijauhkan darinya. Ia gunakan abu bekas arang perapian untuk menulis di
dinding kusam penjara. Salah satu karya besarnya, Risalatul Hamawiyah,
dipahatkan untuk keabadian. Keabadian nama besar Syaikhul Islam, keabadian
da’wah dan jihadnya, keabadian atas hasad orang-orang kerdil jiwa yang iri
kepadanya.
Apa definisi merdeka menurutmu?
Mungkin merdeka itu seperti Umar bin Khattab yang satu saat pernah berkata
“Jika bahagia dan derita menjadi dua jalan raya, sementara syukur dan sabar
menjadi dua kendaraannya, maka aku tak peduli harus melintasi yang mana.”
Apa definisi merdeka menurutmu?
Mungkin merdeka itu seperti yang dirasakan Abu Bakar, ketika ia menyumbangkan
seluruh hartanya untuk Islam lalu ditanyai Rasulullah “lantas, apa yang engkau
tinggalkan untuk keluargamu?” dengan enteng sang Ash-Shiddiq menjawab “cukuplah
aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasulnya”.
Apa definisi merdeka menurutmu?
Mungkin merdeka itu seperti Rasulullah. Semerdeka-merdeka manusia. Manusia yang
menjembatani risalah langit dan bumi. Saat tetes-tetes bening dari mata sendu
Abu Bakar mengenai wajah beliau SAW. Setelah sekian lama ia menggigit bibir
menahan sakit dari sengatan hewan-hewan berbisa yang menyerang tubuhnya, tubuh
yang sengaja betul dipakai untuk menutupi lubang-lubang di lantai gua agar hewan
berbisa tak sampai menggigit Rasulullah, tubuh yang tetap diam membatu saat
rasa sakit merejang sebab tak mau Rasulullah yang ada dipangkuannya terbangun.
Tapi kini sudah tak tahan lagi, bukan, bukan tak kuat menahan sakit, melainkan
kekhawatiran karena musuh telah berada teramat dekat di pintu gua, hingga andai
musuh-musuh itu melihat ke arah kaki mereka, pastilah mereka menemukan
Rasulullah dan Abu Bakar. “Aku takut mereka akan membunuhmu”, bisiknya saat Rasulullah
terbangun karena wajahnya terkena tetes cairan kaca yang telah menganak sungai
di pipi Abu Bakar. Apa yang dikatakan Rasulullah? Biarlah Al-Qur’an
mengabadikan perkataan menyejarah itu “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah
bersama kita.”. Duh, bagaimana kiranya perasaan Abu Bakar ketika mendengar
kalimat itu keluar langsung dari lisan Rasulullah? Mungkin seperti tersiram
salju, membuat damai dan sejuk seketika.
Begitulah merdeka. Ia adalah
kebebasan. Bebas dari penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkekang, lepas dari
tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu.
Merdeka adalah bebas dari semua hal yang bersifat tekanan. Lantas siapa orang-orang
yang paling merdeka?
“Sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan :”Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah
kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh )surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu.”
Kami-lah
Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan, dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang
kamu minta”
Sebagai hidangan (bagimu)
dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang
Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih
dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”?
(Fushshilat: 30-33).
Maka menurutku, (eh, kok
berganti dari saya menjadi aku? biar deh yaa.. malas edit^^) orang-orang paling
merdeka adalah mereka yang paling mengenal Tuhannya. Lantas berserah diri hanya
pada-Nya saja. Memang betul, begitu? tentu saja, bahkan oleh Alm. Ustadz Rahmat
Abdulullah mereka disebut sebagai orang-orang kaya, orang-orang yang terlepas
dari ikatan-ikatan bumi, orang-orang yang tak bersedih dengan apa yang hilang
di belakang dan tak cemas dengan bahaya yang menghadang di depan.
Sejatinya, kemerdekaan pertama kali
terletak pada jiwa seseorang, kalian boleh sepakat atau tidak. Manusia yang
hatinya terjeruji, seluas apapun kebebasan yang diberikan pada jasadnya, dunia
tetap terasa sempit dan menyesakkan baginya. Sebaliknya, orang yang jiwanya
bebas merdeka, akan selalu punya cara untuk menikmati segala karunia. Jika
dunia terlalu sempit untuk sekadar melangkah (horizontal; hablumminannaas), ia
masih bisa melompat mendekati langit (vetikal; hablumminallah). Hidupnya
seperti per, semakin berat tekanan, semakin tinggi lompatan. Semakin berat
tanggungan beban, semakin ia berserah kepada Tuhan.
Bagi seorang muslim, iman akan
selalu bersisian dengan kemerdekaan jiwa. kata Sayyid Quthb, “Hati nurani manusia tidak akan pernah bisa
merasa tenang dan mantap dalam menghadapi masalah alam raya, masalah dirinya
dan sistem kehidupannya, sebelum ia mendapatkan ketenangan dan kemantapan dalam
masalah aqidah dan konsepsinya tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya.”
Saat seseorang telah mengucap
kalimat “Asyhadu Allaailaaha illaLlah,
waasyhadu anna Muhammadarrasuulullah.” Maka sejatinya ia tengah berada pada
pintu gerbang kemerdekaan Indonesia , eh, bukan, pintu gerbang kemerdekaan jiwa
sebagai seorang muslim tentu.
Saat ia mengikrarkan dua kalimat
syahadat, maka ia juga tengah berikrar pada dirinya, bahwa
shalat-ibadah-hidup-mati hanya untuk dan karena-Nya semata. Ia tak menyerahkan
‘remote’ hatinya pada dunia dan isinya.
Setelah kalimat syahadat: “Tiada tuhan selain
Allah”, maka yang boleh membuatnya
menangis-tertawa-sedih-bahagia-marah-takut-cemburu hanyalah Allah dan
Rasul-Nya. Selesai. Pahami baik-baik, bukan berarti kita tak boleh sedih, marah
atau senang, tapi pastikan penyebab dibelakang semua emosi tersebut adalah
karena sesuatu yang haq.
Begitu
melelahkan saat kita menyerahkan remote hati kita pada dunia dan isinya. Betapa
merdeka kala remote itu kita serahkan pada Dia selaku pemiliknya. Saat yang
lain berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan, orang beriman akan
ikhlash jiwanya, karena ia menyadari jika semua hanya pinjaman, seterserah Sang
Pemilik hendak mengambilnya kapan saja. Saat yang lain sombong dengan segala
capaian, orang beriman akan tetap bersahaja dalam ketawadhuan, sebab ia
menyadari tak ada kenikmatan, capaian, prestasi kebaikan melainkan semua atas
izin dan pertolongan-Nya. Saat yang lain mulai frustasi dengan masalah yang
dihadapi, orang beriman akan memahatkan kembali kalimat “Laa yukallifullaahunafsan
illaa wus’ahaa..” Ah, lagi pula kan “Fainnama’al ‘usriyusraa..” bahkan sekali
lagi “Innama’al ‘usriyusraa..” lantas kenapa masih gelisah, mengapa masih
merasa buntu, sementara jarak masalah dan jalan keluar layaknya jarak antara
kening dan tempat sujud: “wasta’iinuu bishshabri washshalaah”.
Saat
yang lain mulai depresi dengan pandangan orang, maka orang beriman tak akan
ambil pusing soal itu. Buat apa berlelah-lelah mengharap penilaian dari manusia
yang seakan tak ada ujungnya, jika memburu penilaian dari Allah dengan
melaksanakan titah-Nya dan menjauhi larangan-Nya telah cukup untuk memberimu
kebaikan dunia dan kenikmatan surga. Maka menggantungkan harap kepada-Nya tak
akan berujung kecewa, berbanding terbalik dengan berharap pada manusia yang
terasa melelahkan seumpama berlomba lari tanpa ada garis finishnya.
Saat
yang lain dihantui perasaan khawatir dengan masa depan yang belum tampak,
keyakinan akan qadha dan qadar akan membuat hati orang-orang beriman tetap
diliputi ketenangan. Bukankah takdir telah dituliskan jauh sebelum penciptaan?
Maka ketika telah genap ikhtiyar dan do’a, apapun yang terjadi, berarti itulah
hasil paling purna dan paling baik baginya. Menyeruaklah husnudzan. Karena katanya,
salah satu cobaan dari terhijabnya pengetahuan kita akan masa depan adalah,
“apakah kita bisa selalu berprasangka baik akan ketetapan-ketetapan-Nya atau
justru sebaliknya”. Lagipula, bukankan orang beriman itu selalu dalam kebaikan,
saat kondisi susah maupun senang? Saat dikaruniai nikmat, ia bersyukur, maka
itu baik baginya. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu juga baik
baginya.
Betapa
merdeka hidup orang-orang beriman, jika ia memaknai syahadat dan syari’at
dengan pemaknaan yang purna. Apa ejawantah dari jiwa yang merdeka? Jiwa yang
merdeka akan melahirkan sosok-sosok yang teguh-tangguh. Salah satu ciri manusia
paling merdeka, adalah mereka yang memiliki ketangguhan paling baja. Seperti
makna tangguh yang dikristalkan Scientia Afifah dalam bentuk puisi di awal
tulisan, atau, seperti orang-orang merdeka nan tangguh yang telah dikisahkan di
paragraf-paragraf awal.
Maka
ingin rasanya kuucapkan; selamat wahai orang-orang yang paling bertauhid,
selamat wahai orang-orang yang paling mengenal Rabbnya, sesungguhnya kalianlah
orang-orang yang paling merdeka, kalianlah setangguh-tangguh manusia.
Akhirnya,
penulis ingin menegaskan kalau tulisan ini sebenarnya merupakan nasehat dan
pengingat yang paling layak ditelunjukkan ke depan batang hidung penulis
sendiri. Yang jiwanya belum purna merdeka, yang masih suka cemas dan bersedih
atas sebab yang tak sepatutnya.
Semoga
Allah purnakan proses hijrah kita, proses perpindahan kita: minadzhdzhulumaati ilannuur. Termasuk di
dalamnya, perpindahan dari kondisi terjajah (oleh ikatan-ikatan bumi) menuju
kondisi merdeka (dengan menggantungkan segala harap pada-Nya saja).
Semoga
Allah kuatkan tiap langkah, hingga barakah, hingga husnul khatimah (pinjam
kata-kata Ust. Salim A. Fillah). Peluk hangat untuk saudari-saudari yang setia
membersamai di jalan ini. J
“Peliharalah Allah, maka Allah akan
memeliharamu. Peliharalah Allah, maka kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu.
Apabila kamu memohon, maka mohonlah kepada Allah. Apabila kamu meminta
pertolongan, maka mintalan pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya,
seandainya seluruh manusia sepakat untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka
mereka tak akan bisa memberinya kecuali sebatas apa yang telah ditetapkan oleh
Allah untukmu. Dan sebaliknya, seandainya seluruh manusia sepakat untuk
mencelakaimu, maka mereka tak akan bisa mencelakaimu, kecuali sebatas apa yang
telah ditetapkan Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran catatan telah
kering.” (HR. Tirmidzi)
Penulis :
Dini Hanifah PBSI 2018 (Anggota Departemen Kemuslimahan)
Jazakillahkhoir, puisi tentang tangguh itu mengkokohkan satu tiang dari seribu tiang saya yang hampir rapuh, terima kasih
ReplyDeleteSubhanallah, Luar biasa
ReplyDeleteTOP 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻 "Gak usah sedih saat kehilangan dan gak usah cemas sama masa depan" "susah atau senang, orang briman slalu dalam kbaikan"... Kaya nih kalimat2 nya,,, 🤩🤩🤩 Jazakallah
ReplyDelete