cover+blog+1


Tangguh itu,
Berusaha melangkahkan kaki
Walau berat terseret
Karena ia tahu
Tak pernah ada kata menunggu bagi sang waktu

Tangguh itu,
Menelan ludah kuat-kuat,
Sesakit apapun tenggorokan menjadi tumbal
Bagi adrenalin yang memuncak

Tangguh itu,
Melengkuhkan senyum selebar dan seikhlasnya
Sepenat apapun kepala dan benak

Tangguh itu,
Membinarkan mata secerahnya
Semenggenang apapun danau di pelupuk

Tangguh itu,
Seperti Asma binti Abi Bakar
Bunda Dzatunitaqain merayap Tsur demi dua lelaki akhirat
Menyakinkan sang anak menyongsong kematian terindah..

Tangguh itu,
Membiarkan malaikat tersenyum jemawa
Karena telah mencatat kemenangan jiwa

Tangguh itu,
Bukan arogan dan enggan mengakui kesalahan
Justru mantap bertanggungjawab
Merecovery kesalahan dengan prestasi kebaikan

Tangguh itu,
Mematahari,
Ia tak pernah kehabisan energi untuk terus memberi

Tangguh itu,
Tentu bukan sekadar kata
Karena ia dibentuk dengan amal-amal badai dan nyata

Tangguh itu,
Bukan mempermak wajah dengan kepalsuan
Justru mendorong hati untuk menghamba-Nya seaslinya
Karena tangguh adalah hasil kausa sebuah do’a:
Izzah dan iffah yang mendarah mensenyawa
Memprosesmu menjadi manusia merdeka

Allah..
Terima kasih telah memberiku kesempatan
Untuk bertangguh, mencoba tangguh
Sampaikan terima kasih pula pada mereka:
Tangguh yang mewujud pada manusia.

(Tentang Tangguh: Scientia Afifah)
                                     
            Jika ditanya kapan pertama kali saya mulai menaruh hati pada jalan ini, persisnya, saya tak ingat betul, apakah saat seorang kakak dengan menggebu-gebu menceritakan kegiatannya di rohis, atau saat seorang bibi mengompori agar saya ikut liqo, atau ketika saya mulai membaca tumpukkan majalah Ummi, Annida, Tarbawi, Sabili yang dibawa bibi-bibi dan paman-paman jika mereka sedang berkunjung ke rumah. Ah, saya tak peduli, yang pasti kini, saya ingin memeluk anugerah ini kuat-kuat. Anugerah karena telah berada di jalan ini, jalan yang tidak semua orang bisa lalui.
            Salah satu karunia yang patut disyukuri saat kaki ini menapak jalan yang Izzatul Islam  bilang “penuh onak dan duri”, adalah bertemunya saya dengan manusia-manusia paling merdeka. Apa menurutmu definisi merdeka?
            Mungkin, merdeka itu seperti seorang murabbi sewaktu saya masih duduk di Madrasah Aliyah. Dengan jarak rumah yang cukup jauh, ditambah dua anak balita yang sedang aktif-aktifnya dan senang mencari perhatian dari sang ibunda, tak membuat beliau terpenjara. Beliau tetap merdeka mengabdikan dirinya untuk da’wah. Tiap pekan, beliau nyaris tak pernah alpa mengalirkan jernihnya mata air ilmu yang menelaga, pada kami, mutarabbinya yang kehausan. Meski beliau harus memasang tubuh tegap-tegap karena anak-anaknya yang masih balita merengek sambil menggelayuti tubuh, meski harus menutup telinga kuat-kuat karena anak balitanya yang menjerit-jerit minta perhatian, meski harus menutup dompet rapat-rapat karena sang anak yang seakan mengiqab ibundanya dengan banyak meminta uang jajan, tetap saja tak menyurutkan langkah beliau untuk menjadi jembatan hidayah-Nya bagi kami.
            Apa definisi merdeka menurutmu? Mungkin merdeka itu seperti Ibunda Alm. Yoyoh Yusroh. Kesibukan dunia, pekerjaannya sebagai pejabat negara tak membuat beliau terhalang dari keta’atan pada Allah (insyaa Allah). Padatnya jam kerja tak menghalangi beliau untuk tilawah Al-Qur’an minimal 2 juz sehari. Tiga belas buah hati tak membuat beliau tak sempat menghafal Al-Qur’an, tahajud, dhuha dan amalan sunnah lainnya. Jabatan dan pangkat dunia tak membuat nyali beliau ciut untuk bolak-balik Indonesia-Palestina. Menjadi relawan, mengirim bantuan. Diceritakan, beliau tak pernah panik setiap kehilangan sesuatu, bahkan benda penting semacam dompet. Dengan enteng beliau mengatakan, “Ya sudah, kalau masih rezeki nanti juga kembali.”. Salah satu kebijakan beliau yang masih kita nikmati hingga saat ini, khususnya untuk saudari-saudari kita yang berprofesi sebagai polwan, adalah legalisasi hijab bagi polisi wanita.
            Apa definisi merdeka menurutmu? Mungkin merdeka itu seperti Ibnu Taimiyah, saat penjara Damaskus di tahun 278 H, menjadi saksi kata-katanya yang abadi menyejarah.
“Apa yang dikatakan musuh-musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, itu adalah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.”
Tubuhnya memang sempurna terpenjara, namun jiwanya bebas merdeka. Pena, kertas dan tinta telah dijauhkan darinya. Ia gunakan abu bekas arang perapian untuk menulis di dinding kusam penjara. Salah satu karya besarnya, Risalatul Hamawiyah, dipahatkan untuk keabadian. Keabadian nama besar Syaikhul Islam, keabadian da’wah dan jihadnya, keabadian atas hasad orang-orang kerdil jiwa yang iri kepadanya.
            Apa definisi merdeka menurutmu? Mungkin merdeka itu seperti Umar bin Khattab yang satu saat pernah berkata “Jika bahagia dan derita menjadi dua jalan raya, sementara syukur dan sabar menjadi dua kendaraannya, maka aku tak peduli harus melintasi yang mana.”
            Apa definisi merdeka menurutmu? Mungkin merdeka itu seperti yang dirasakan Abu Bakar, ketika ia menyumbangkan seluruh hartanya untuk Islam lalu ditanyai Rasulullah “lantas, apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” dengan enteng sang Ash-Shiddiq menjawab “cukuplah aku tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasulnya”.
            Apa definisi merdeka menurutmu? Mungkin merdeka itu seperti Rasulullah. Semerdeka-merdeka manusia. Manusia yang menjembatani risalah langit dan bumi. Saat tetes-tetes bening dari mata sendu Abu Bakar mengenai wajah beliau SAW. Setelah sekian lama ia menggigit bibir menahan sakit dari sengatan hewan-hewan berbisa yang menyerang tubuhnya, tubuh yang sengaja betul dipakai untuk menutupi lubang-lubang di lantai gua agar hewan berbisa tak sampai menggigit Rasulullah, tubuh yang tetap diam membatu saat rasa sakit merejang sebab tak mau Rasulullah yang ada dipangkuannya terbangun. Tapi kini sudah tak tahan lagi, bukan, bukan tak kuat menahan sakit, melainkan kekhawatiran karena musuh telah berada teramat dekat di pintu gua, hingga andai musuh-musuh itu melihat ke arah kaki mereka, pastilah mereka menemukan Rasulullah dan Abu Bakar. “Aku takut mereka akan membunuhmu”, bisiknya saat Rasulullah terbangun karena wajahnya terkena tetes cairan kaca yang telah menganak sungai di pipi Abu Bakar. Apa yang dikatakan Rasulullah? Biarlah Al-Qur’an mengabadikan perkataan menyejarah itu “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”. Duh, bagaimana kiranya perasaan Abu Bakar ketika mendengar kalimat itu keluar langsung dari lisan Rasulullah? Mungkin seperti tersiram salju, membuat damai dan sejuk seketika.
            Begitulah merdeka. Ia adalah kebebasan. Bebas dari penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkekang, lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu. Merdeka adalah bebas dari semua hal yang bersifat tekanan. Lantas siapa orang-orang yang paling merdeka?
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan :”Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh )surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Kami-lah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan, dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta”
Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha  Pengampun lagi Maha Penyayang
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”? (Fushshilat: 30-33).
            Maka menurutku, (eh, kok berganti dari saya menjadi aku? biar deh yaa.. malas edit^^) orang-orang paling merdeka adalah mereka yang paling mengenal Tuhannya. Lantas berserah diri hanya pada-Nya saja. Memang betul, begitu? tentu saja, bahkan oleh Alm. Ustadz Rahmat Abdulullah mereka disebut sebagai orang-orang kaya, orang-orang yang terlepas dari ikatan-ikatan bumi, orang-orang yang tak bersedih dengan apa yang hilang di belakang dan tak cemas dengan bahaya yang menghadang di depan.
            Sejatinya, kemerdekaan pertama kali terletak pada jiwa seseorang, kalian boleh sepakat atau tidak. Manusia yang hatinya terjeruji, seluas apapun kebebasan yang diberikan pada jasadnya, dunia tetap terasa sempit dan menyesakkan baginya. Sebaliknya, orang yang jiwanya bebas merdeka, akan selalu punya cara untuk menikmati segala karunia. Jika dunia terlalu sempit untuk sekadar melangkah (horizontal; hablumminannaas), ia masih bisa melompat mendekati langit (vetikal; hablumminallah). Hidupnya seperti per, semakin berat tekanan, semakin tinggi lompatan. Semakin berat tanggungan beban, semakin ia berserah kepada Tuhan.
            Bagi seorang muslim, iman akan selalu bersisian dengan kemerdekaan jiwa. kata Sayyid Quthb, “Hati nurani manusia tidak akan pernah bisa merasa tenang dan mantap dalam menghadapi masalah alam raya, masalah dirinya dan sistem kehidupannya, sebelum ia mendapatkan ketenangan dan kemantapan dalam masalah aqidah dan konsepsinya tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya.”
            Saat seseorang telah mengucap kalimat “Asyhadu Allaailaaha illaLlah, waasyhadu anna Muhammadarrasuulullah.” Maka sejatinya ia tengah berada pada pintu gerbang kemerdekaan Indonesia , eh, bukan, pintu gerbang kemerdekaan jiwa sebagai seorang muslim tentu.
            Saat ia mengikrarkan dua kalimat syahadat, maka ia juga tengah berikrar pada dirinya, bahwa shalat-ibadah-hidup-mati hanya untuk dan karena-Nya semata. Ia tak menyerahkan ‘remote’ hatinya pada dunia dan isinya.
 Setelah kalimat syahadat: “Tiada tuhan selain Allah”, maka yang boleh membuatnya menangis-tertawa-sedih-bahagia-marah-takut-cemburu hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Selesai. Pahami baik-baik, bukan berarti kita tak boleh sedih, marah atau senang, tapi pastikan penyebab dibelakang semua emosi tersebut adalah karena sesuatu yang haq.
Begitu melelahkan saat kita menyerahkan remote hati kita pada dunia dan isinya. Betapa merdeka kala remote itu kita serahkan pada Dia selaku pemiliknya. Saat yang lain berlarut-larut dalam kesedihan karena kehilangan, orang beriman akan ikhlash jiwanya, karena ia menyadari jika semua hanya pinjaman, seterserah Sang Pemilik hendak mengambilnya kapan saja. Saat yang lain sombong dengan segala capaian, orang beriman akan tetap bersahaja dalam ketawadhuan, sebab ia menyadari tak ada kenikmatan, capaian, prestasi kebaikan melainkan semua atas izin dan pertolongan-Nya. Saat yang lain mulai frustasi dengan masalah yang dihadapi, orang beriman akan memahatkan kembali kalimat “Laa yukallifullaahunafsan illaa wus’ahaa..” Ah, lagi pula kan “Fainnama’al ‘usriyusraa..” bahkan sekali lagi “Innama’al ‘usriyusraa..” lantas kenapa masih gelisah, mengapa masih merasa buntu, sementara jarak masalah dan jalan keluar layaknya jarak antara kening dan tempat sujud: “wasta’iinuu bishshabri washshalaah”.
Saat yang lain mulai depresi dengan pandangan orang, maka orang beriman tak akan ambil pusing soal itu. Buat apa berlelah-lelah mengharap penilaian dari manusia yang seakan tak ada ujungnya, jika memburu penilaian dari Allah dengan melaksanakan titah-Nya dan menjauhi larangan-Nya telah cukup untuk memberimu kebaikan dunia dan kenikmatan surga. Maka menggantungkan harap kepada-Nya tak akan berujung kecewa, berbanding terbalik dengan berharap pada manusia yang terasa melelahkan seumpama berlomba lari tanpa ada garis finishnya.
Saat yang lain dihantui perasaan khawatir dengan masa depan yang belum tampak, keyakinan akan qadha dan qadar akan membuat hati orang-orang beriman tetap diliputi ketenangan. Bukankah takdir telah dituliskan jauh sebelum penciptaan? Maka ketika telah genap ikhtiyar dan do’a, apapun yang terjadi, berarti itulah hasil paling purna dan paling baik baginya. Menyeruaklah husnudzan. Karena katanya, salah satu cobaan dari terhijabnya pengetahuan kita akan masa depan adalah, “apakah kita bisa selalu berprasangka baik akan ketetapan-ketetapan-Nya atau justru sebaliknya”. Lagipula, bukankan orang beriman itu selalu dalam kebaikan, saat kondisi susah maupun senang? Saat dikaruniai nikmat, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu juga baik baginya.
Betapa merdeka hidup orang-orang beriman, jika ia memaknai syahadat dan syari’at dengan pemaknaan yang purna. Apa ejawantah dari jiwa yang merdeka? Jiwa yang merdeka akan melahirkan sosok-sosok yang teguh-tangguh. Salah satu ciri manusia paling merdeka, adalah mereka yang memiliki ketangguhan paling baja. Seperti makna tangguh yang dikristalkan Scientia Afifah dalam bentuk puisi di awal tulisan, atau, seperti orang-orang merdeka nan tangguh yang telah dikisahkan di paragraf-paragraf awal.
Maka ingin rasanya kuucapkan; selamat wahai orang-orang yang paling bertauhid, selamat wahai orang-orang yang paling mengenal Rabbnya, sesungguhnya kalianlah orang-orang yang paling merdeka, kalianlah setangguh-tangguh manusia.
Akhirnya, penulis ingin menegaskan kalau tulisan ini sebenarnya merupakan nasehat dan pengingat yang paling layak ditelunjukkan ke depan batang hidung penulis sendiri. Yang jiwanya belum purna merdeka, yang masih suka cemas dan bersedih atas sebab yang tak sepatutnya.
Semoga Allah purnakan proses hijrah kita, proses perpindahan kita: minadzhdzhulumaati ilannuur. Termasuk di dalamnya, perpindahan dari kondisi terjajah (oleh ikatan-ikatan bumi) menuju kondisi merdeka (dengan menggantungkan segala harap pada-Nya saja).
Semoga Allah kuatkan tiap langkah, hingga barakah, hingga husnul khatimah (pinjam kata-kata Ust. Salim A. Fillah). Peluk hangat untuk saudari-saudari yang setia membersamai di jalan ini. J

Peliharalah Allah, maka Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah, maka kamu akan mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila kamu memohon, maka mohonlah kepada Allah. Apabila kamu meminta pertolongan, maka mintalan pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya, seandainya seluruh manusia sepakat untuk memberi suatu manfaat kepadamu, maka mereka tak akan bisa memberinya kecuali sebatas apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu. Dan sebaliknya, seandainya seluruh manusia sepakat untuk mencelakaimu, maka mereka tak akan bisa mencelakaimu, kecuali sebatas apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran catatan telah kering.” (HR. Tirmidzi)


Penulis :
Dini Hanifah PBSI 2018 (Anggota Departemen Kemuslimahan)

3 comments:

  1. blogger_logo_round_35

    Jazakillahkhoir, puisi tentang tangguh itu mengkokohkan satu tiang dari seribu tiang saya yang hampir rapuh, terima kasih

    ReplyDelete
  2. 20180408_103106
  3. IMG_20170612_155307_100

    TOP 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻 "Gak usah sedih saat kehilangan dan gak usah cemas sama masa depan" "susah atau senang, orang briman slalu dalam kbaikan"... Kaya nih kalimat2 nya,,, 🤩🤩🤩 Jazakallah

    ReplyDelete