MENJADI UMAT YANG DIRINDUKAN
Mengapa setelah disuguhi petunjuk jalan hidup terbaik pun, kita masih tersesat?
Bukan hal yang mudah menjadi “muslim” di zaman ini. Muslim yang dimaksud bukanlah sekadar orang yang memeluk agama Islam namun orang Islam yang memeluk teguh syariat-syariat Islam di tengah liberalisme yang semakin meraja dan merdeka. Disadari atau tidak, kenyataannya paham kebebasan di zaman ini telah menjajah kita –umat muslim millennial – dalam bersyariat. Perlu diketahui bahwa syariat Islam adalah sebuah hukum tata laksana umat Islam dalam berkehidupan sebab syariat mengatur segala sendi-sendi kehidupan secara lengkap dan rinci. MasyaAllah.
Syariat dapatlah disebut sebagai tradisi, sedangkan tradisi bersifat kontinu, berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga dapatlah disebut syariat itu sebagai sebuah gaya hidup. Bukan main peran syariat dalam mengatur pola hidup umatnya! Dengan bersumber Al-Quran dan hadist yang terjaga kesuciannya, syariat pun senantiasa memelihara kesucian umat Islam itu sendiri baik secara ragawi maupun rohani. Syariat bukan hanya mengatur soal tata peribadatan atau hablu minaallah, namun juga thaharah atau kebersihan, kesehatan dengan pengaturan halal dan haramnya, hablu minannas atau pergaulan yang sehat baik kepada teman sejawat maupun kepada orang tua, hingga tata peradilan dan penghukuman, siyaasat atau politik, rumah tangga, warisan, perdagangan dan perekonomian, pendidikan, kesenian, penenangan jiwa melalui dzikir, dan masih banyak lagi.
Jika Karl Max mengatakan bahwa agama hanya sebagai candu, opium masyarakat, dan desah napas keluhan manusia sebagai makhluk yang jiwanya mudah tertekan, makhluk berhati dari dunia yang tak punya hati serta jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Maka saya katakan bahwa Islam lebih dari sekedar candu! Islam adalah pedoman hidup dimana walaupun mengabaikan keberadaan akhirat dan kebenarannya, ia akan tetap menjadi jalan yang indah, jalan yang damai dan sangat teratur, hanif, dan tak ada ketersesatan di dalamnya. Coba bayangkan jika seluruh umat menjalankan syariat Islam dan betul-betul menegakkannya; aturan berpakaian, bertingkah laku, hukuman rajam mungkin akan membuat tak adanya perzinahan dan pemerkosaan. Larangan mencuri dan hukum potong tangan akan membuat manusia enggan mencuri. Ah, mungkin dunia akan sejahtera dan damai pula tanpa adanya suap dan korupsi.
“Syariat”, merenungi satu kata itu membuat hati saya sebagai umat Islam menjadi megah sekaligus damai. Sungguh adakah hal di dalam kehidupan ini yang tidak ada pedomannya dalam Islam? Perihal mati dan kehidupan setelah mati pun termaktub jelas dalam Al-Qur’an. Segala tantangan zaman dari zaman nabi dan rasul hingga zaman millennial ini bahkan kontan relevan. Membahas indahnya syariat memanglah tak ada habisnya, karena itu saya ingin membahas hal lain mengenai syariat Islam, yakni sisi pilu dari eksistensinya di zaman ini. Sebelumnya harus kita ingat kembali bahwa syariat adalah standar gaya hidup umat Islam.
Muslimah yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, berkerudung panjang, berkaus kaki, kadang memakai penutup pada pergelangan tangan, atau bahkan memakai cadar, bukankah mereka menjalankan syariat Islam yakni menutup aurat? Memilih menangkupkan kedua telapak tangan saat diajak bersalaman dengan lawan jenis pun, bukankah sebuah syariat Islam yaitu menghindari fitnah dan zina? Mengajak muslim lain untuk pergi salat, mengingatkan saat muslim yang lain menyimpang dari jalan Islam yang hanif, bukankah juga syariat, yakni amar makruf nahi munkar? Ya, tentu mereka hanya menjalankan standar syariat Islam.
Akan tetapi di zaman ini, pemeluk Islam tak betul-betul memeluk keislamannya, orang yang ingin menjalankan “standar umat Islam” yang sesuai dengan syariatnya, haruslah siap dipandang berbeda. Saya rasa banyak yang akan sependapat dengan saya dalam hal ini. Ia yang berusaha menjadi yang seharusnya justru yang merasa terasing. Memilukannya, keterasingan tersebut pun kerap terasa saat berada di tengah kalangan yang sebetulnya mereka pun beragama Islam pula. Seolah Islam hanyalah sebatas status, adapun menaati Islam dan syariat di dalamnya adalah soal pilihan.
Seolah hal-hal wajib seperti sholat dan puasa dianggap sebagai opsi sebagaimana hal-hal sunnah. Sedangkan hal-hal sunnah dianggap sesuatu yang ekstrem bila dijalankan, contohnya orang-orang bercadar yang dianggap radikal, dianggap menganut paham yang bermacam-macam, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana dengan hal-hal haram yang dilarang? Pacaran, mabuk, pergaulan bebas, tidak menutup aurat, politik uang? Sungguh, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, hal-hal tersebut justru dianggap wajar! Namun, yang begitu miris, umat di zaman ini mulai gamang dalam membedakan open minded dan toleransi.
Belum lama, kita digegerkan dengan sebuah siaran di akun YouTube seorang public figure yang mengundang pasangan homoseksual dan menyoroti bagaimana kehidupan mereka seolah hal tersebut merupakan sesuatu yang legal, wajar, dan layak dipertontonkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya ialah Islam – yang tentunya mengecam hubungan sesama jenis. Namun letak mirisnya bukan hanya di situ, namun pada beragam tanggapan netizen mengenai hal tersebut, salah satunya adalah tentang istilah open minded yang muncul dalam pendapat orang-orang yang pro dengan konten tersebut. Saya rasa, pemikiran semacam itu muncul sebab kemerdekaan liberalism. Paham kebebasan tersebut mengikis batasan-batasan akidah sehingga umat di zaman milenial ini gamang dalam membedakan mana toleransi dan mana open minded. adapun kasus konten pasangan sejenis tersebut hanyalah salah satu dari kesilapan anggapan masyarakat pada istilah open minded dan toleransi.
Mungkin segala kisruh mengenai umat Islam dalam menjalankan syariat di atas adalah maksud dari pepatah yang kerap berseliweran mengenai kehadiran Islam, yakni: Islam datang dalam keadaaan terasing dan akan kembali dalam keadaan terasing pula. Sehingga di sini saya akan mengatakan kepada siapapun yang merasa terasing sebab memilih menjalankan syariat, anda hebat dan teruslah istiqomah menjadi umat yang dirindukan! Sebagai umat yang dirindukan, tantangan kita dalam mengarungi dunia mestilah hebat juga. Namun kita patut berbahagia. Sebab kita telah memiliki “peta perjalanan” dalam menyusuri kehidupan.
Mari kita kembali merengkuh peta perjalanan itu lebih erat, memeluk syariat dalam Al-Qur’an dan hadist sampai kita sampai pada akhir perjalanan. Mari bersemangat sebab kekasih-Nya telah menunggu kita. Sang kekasih yang sebelum kematiannya mengelu-elukan sebuah umat, umat yang dikatakan paling dekat dengannya melebihi umat-umatnya yang lain. Ya, itulah kita, kita adalah umat yang dirindukan Nabi! Sang Kekasih yang syafaatnya semoga senantiasa menyertai kita.
Lantas, mengapa setelah disuguhi petunjuk jalan hidup terbaik pun, kita masih tersesat? Sebab sebagaimana Rasulullah bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan…” (HR. Bukhori dari Abu Hurairah r.a).
Semoga kita bukanlah umat yang enggan. Amin
Penulis
Pemenang Lomba Tasymil L-SIP XVI
Juara Kedua
Roudhatul Jannah
No comments:
Post a Comment